Tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga
mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan. Istilah
tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan
masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi
ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. tradisi tidak hanya
diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga
ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui
pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada
kesinambungan masa lalu.
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni
atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah upacara
utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan
pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya hanya dengan
brokohan saja atau upacara sederhana. Acara tingkepan merupakan tradisi
lokal masyarakat jawa yang bersumber dari ajaran Hindu. Bentuk dan
praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di daerah jawa
Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam upacara ini
membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman .
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu
dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah
fiqh. Penghargaan
islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat karena dalam
islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan ibadah tersendiri
atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah.
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis
menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan
telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk
tabdzir. Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan
sedekah kepada para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW
dan ayat- ayat al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar
ibu yang mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu
tidaklah tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits
baik yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa
kepada Allah SWT. Shadaqah dan doa adalah suatu bentuk ibadah yang
aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja ia harus
berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka perlukan
dan hal itu bukan termasuk bid’ah, bahkan sangat dianjurkannya
mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan
dikabulkan hajatnya sangat diharapkanTetapi apabila pelakasanaan
tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan tertentu dan diyakini bahwa
penentuan tersebut merupakan suatu keharusan dan bagian dari syariat
islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang oleh Islam maka hal itu
adalah bid’ah yang harus dijauhi.
Jika kita memperhatikan amaliyah masyarakat di sekitar kita khususnya
masyarakat Jawa, banyak di antara mereka yang melakukan amaliyah
amaliyah yang perlu dipertanyakan dasar hukumnya. Banyak amaliyah -
amaliyah tersebut ternyata tidak ditemukan secara jelas dasar hukum
dalam teks al Qur’an maupun al Hadits, sedangkan sebuah keniscayaan hal
itu kerap kali terjadi bahkan menjadi sebuah tradisi yang terus
berlangsung di tengah - tengah masyarakat kita. Tentu hal itu memerlukan
kajian dan jawaban hukum serta solusi yang tepat.
Wali songo dalam menyebarkan agama islam di Jawa ketika mereka
dihadapkan pada sebuah kenyataan yaitu penduduk lokal telah bergumul
dengan tradisi - tradisi baik yang diwarisi oleh agama Hindu dan Budha
maupun yang terbentuk dari budaya asli mereka. Para wali songo tidaklah
menolak ataupun menentang secara langsung adat istiadat atau tradisi
mereka, namun malah menjadikan tradisi tersebut sebagai sarana dakwah
dengan diwarnai nilai-nilai yang islami.
Persoalannya, mampukah kita menjadikan adat sebagai lahan dakwah ? jika
tidak, akankah kita membiarkan begitu saja tanpa ada solusinya, dan
sanggupkah kita menerima dosa karena telah meninggalkan amar ma’ruf nahi
munkar ?
Salah satu tradisi khususnya pada masyarakat jawa adalah tingkepan
yaitu upacara kehamilan yang biasa dilakukan pada saat usia kehamilan
mencapai usia 3 bulan atau 4 bulan atau 7 bulan. Oleh karena itu dalam
makalah ini penulis akan membahas masalah – masalah sebagai berikut :
a. Apa tingkepan itu ?
b. Bagaimana bentuk dan praktek tingkepan ?
c. Bagaiman pandangan fikih terhadap tingkepan ?
A. Pengertian Tingkepan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut
mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan. Upacara tingkepan adalah
upacara utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi
kehamilan pertama, sedangkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya
hanya dengan brokohan saja atau upacara sederhana.
Dalam pengamatan penulis yang juga seringkali mengikuti acara tingkepan
di daerah tempat tinggal penulis yaitu di daerah Sidoarjo, acara
tingkepan yang mana di daerah penulis sering di sebut dengan Walimatul
Hamli , tingkepan adalah sebuah tasyakuran kehamilan yang biasa
dilaksanakan pada saat usia kehamilan mencapai 3 bulan, 4 bulan atau 7
bulan. Dalam acara tersebut tetangga sekitar baik laki-laki maupun
perempuan diundang, acara pertama dibacakan ayat suci al Qur’an misalnya
surat yusuf, surat maryam, surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan sholawat nabi kemudian ceramah agama dan ditutup dengan doa
dan terkadang ada sebagian masyarakat yang mengadakan khotmil Qur’an
yang dimulai sejak pagi hari.
Di setiap daerah tentunya berbeda – beda bentuk acaranya sesuai dengan
adat istiadat di daerah tersebut. Jika sang istri hamil usia 120 hari (
4 bulan ) maka diadakan ritual yang disebut dengan upacara ngapeti atau
ngupati, disebut ngapeti karena usia kandungan telah mencapai empat
bulan dan disebut ngupati karena dalam upacara tersebut ada hidangan
yang berupa kupat.
Referensi tentang tingkepan tidak penulis temukan dalam teks al Qur’an
dan hadits ataupun buku-buku fikih karangan mujtahid seperti Imam
syafii ataupun lainnya, sehingga penulis memastikan bahwa acara
tingkepan merupakan tradisi lokal masyarakat jawa yang bersumber dari
ajaran Hindu.
Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah
masyarkat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam
rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan).
Upacara ini biasa disebut Garba Wedana (garba : perut, Wedana : sedang
mengandung). Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan
Telonan, Mitoni (terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46)
Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara” (sedulur
papat) yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah,
dan ari-ari. (orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari)
B. Bentuk dan praktek tingkepan
Bentuk dan praktek upacara tingkepan di beberapa daerah khususnya di
daerah jawa Timur ada beberapa perbedaan tapi Yang penting di dalam
upacara ini membaca Al-Quran yakni Surat Maryam dan Yusuf atau Luqman .
Pembacaan Al-Qur’an mangandung makna permintaan. Surat Maryam mengandung
makna, jika nanti bayi yang dilahirkan perempuan, maka bayi yang
dilahirkan akan memiliki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan
Surat Yusuf dimaksudkan agar jika bayi yang dilahirkan laki-laki, maka
ia diharapkan akan menjadi seperti Nabi Yusuf A.S. sedangkan surat
luqman dimaksudkan agar anak yang lahir nanti menjadi anak yang sholih
seperti nasehat Luqman pada anaknya, selain itu juga ada semacam bacaan
lain yang harus dibaca pada ritual tingkepan ini seperti dibaan atau
sholawat nabi SAW dengan harapan bahwa bayi yang akan dilahirkan kelak
memilki sifat-sifat luhur sebagaimana isi kandungan kitab diba’, yaitu
pujian terhadap akhlakul karimah Nabi Muhammad SAW.
Prosesi upacara ini ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat
kompleks. Upacara tingkepan sederhana, kebanyakan biasanya dilakukan
oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, baik yang berlatar belakang
petani maupun nelayan. Jika hamil pertama, upacara itu antara lain
dengan melakukan rujakan, yang terdiri dari serabut kelapa muda
(cengkir) dicampur dengan gula merah, jeruk dan ditempatkan di dalam
takir yang terbuat dari daun pisang yang dililiti janur muda, biasanya
dua takir. Dua takir lainnya berisi nasi uduk yang atasnya diberi
bahan-bahan memasak seperti: terasi, terong dua iris, lombok plumpung
merah dua biji, tauge secukupnya, mentimun dua iris, brambang dan bawang
secukupnya, dua biji ikan asin (gereh), daging masak beberapa iris dan
dua buah udel-udelan. Kemudian ditambah tujuh telur, bucu pitu, dalam
posisi yang ditengah besar dan dikelilingi oleh enam buah bucu lainnya
kecil-kecil. Dua tampah punar, polo pendem (ubi gembili, sawek tales,
ganyong, telo dan sebagainya). Selain itu juga terdapat dua wadah
terbuat dari bungkusan daun pisang yang terdiri dari kembang tujuh rupa,
yaitu kembang melati, gading, kenanga, empon-empon, mawar dan matahari.
Bunga-bunga ini disebut sebagai kembang setaman. Ditambah lagi dengan
bubur putih merah dan dua kelapa muda (cengkir).
Bagi orang kaya, upacara tingkepan juga menjadi persoalan yang kompleks.
Kerumitan upacara ini menandakan yang melakukan adalah kaum elite,
berstatus sosial tinggi. Upacara dimulai pada pukul 4 sore, tentu saja
setealah semua peralatan upacara selesai. Upacara dimulai dengan memohon
doa restu atau sungkeman. Bapak dan ibu dari kedua belah pihak duduk di
kursi ruang tamu dan kedua pelaku upacara berada dalam posisi
membungkuk mengahadap pasangan orang tua. Tanpa sepatah kata pun dari
pelaku upacara atau pelaku cukup mendekatkan muka ke lutut orang tua,
dan orang tua mengelus pundak anak dan menantunya, maka acara sungkeman
pun selesai. Pelaku upacara menggunakan jarik panjang dan baju khas Jawa
untuk acara sungkeman. Acara pun dilanjutkan dengan ganti pakaian baru,
yang terdiri dari kain kebaya yang dililitkan sebatas dada bagian atas.
Kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa . Mulanya yang memandikan
kedua orang tua, selanjutnya mertua dan terakhir suami. Ganti kain
panjang pun dilakukan sebanyak tujuh kali dan dimandikan sebanyak tujuh
kali pula. Acara dilanjutkan dengan memasukan kelapa muda (cengkir) atau
kendi atau telur kedalam pakaian oleh suaminya kemudian dijatuhkan
(dibanting). Jika cengkir atau telur pecah menandakan bayi yang akan
dilahirkan nanti adalah perempuan dan jika cengkir atau telur tadi tidak
pecah maka bayi yang dilahirkan itu laki-laki. Tidak cukup sampai
disitu, setelah ganti pakaian kering, acara dilanjutkan dengan dodolan
dawet duwet kereweng . Kemudian malam harinya baru dilakukan upacara
tingkepan dengan membaca Surat Maryam atau Yusuf dan Luqman kemudian
dilanjutkan dengan dibaan. Acara pun ditutup dengan doa. Dikalangan
orang kaya, yang tidak menggunakan prosesi upacara rumit seperti itu
biasanya cukup mengadakan pengajian besar-besaran yang disebut sebgai
pengajian walimatul hamli atau perayaan kehamilan.
Dalam pengamatan penulis, tradisi tingkepan atau yang disebut walimatul
hamli yang dilakukan di daerah penulis yaitu Sidoarjo bentuk acaranya
hampir sama dan sedikit mengalami perbedaan. Acara tingkepan dihadiri
oleh para tetangga baik laki-laki maupun perempuan dalam acara tersebut
telah disediakan nasi tumpeng, dua buah kelapa muda (cengkir), takir,
beras, telor, sumbu kompor, pisang, kupat dan polo pendem. Kegiatan
diawali dengan pembacaan al Quran surat Luqman atau surat Yusuf atau
surat Maryam dan dilanjutkan dengan pembacaan sholawat Nabi SAW (dibaan)
kemudian ceramah agama dan ditutup dengan do’a. sedangkan pemecahan
kendi atau telor juga penyiraman terhadap ibu yang sedang hamil beserta
suami sudah hampir tidak ada.
C. Pandangan Fiqih terhadap tradisi tingkepan
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu
dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari
generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh
karena itu tradisi tidak menjadikan jenuh untuk dikaji dan diteliti oleh
berbagai pihak. Namun adanya tradisi tentu tidak lepas dari
ajaran-ajaran atau faham-faham kebudayaan dan keagamaan yang berkembang
pada waktu itu. Proses dan pergulatan di dalamnya pastilah ada. Tradisi
tidak selamanya stagnan dan flugtuatif. Tradisi bisa saja terus
berkembang dan sangat mungkin mengalami pergeseran makna dan bentuk
ritual kebiasaannya, besar dan kecilnya bentuk pergeseran itu, karena
tradisi diwarisi oleh generasi yang terus berkembang dalam kontek
kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain bahwa, tradisi tidak hanya
diwariskan tetapi ia juga dikonstruksi atau invented yang juga
ditunjukan untuk menamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui
pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada
kesinambungan masa lalu. Dan tentunya tak salah kemudian proses
kesinambungan itu terwujud dalam sebuah Akulturasi, asimilasi bahkan
sampai pada Islamisasi kebudayaan yang ada dalam masyarakat tertentu.
Artinya, munculnya istilah Islamisasi merupakan sebuah bukti adanya
pergolakan di ranah interaksi dan proses sosialisasi kebudayaan ataupun
penyampaian dalam kontek kepercayaan serta keyakinan tertentu pada
masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat berpikir, bersinggungan
langsung dan kemudian menerima kebudayaan serta kepercayaan itu dengan
sadar dan apa adanya. Karena memang Islam hadir merupakan sebuah upaya
untuk melakukan penyebaran di seluruh jagad raya ini. Tak jarang
masyarakat menolak dan tidak menghiraukannnya. Namun karena Islam dengan
konteks ajaran keagamaan yang membumi dan berbaur dengan keadaan
kebudayaan sekitar maka ia dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat
sekitar. Dan sampai sekarang pun ia senantiasa berbaur, berinteraksi
langsung dengan masyarakat sehingga ia tetap eksis dilingkungan
sekitarnya.
Tingkepan dengan bentuk kegiatan sebagaimana penulis kemukakan di muka
maka bisa dipastikan bahwa tingkepaan itu adalah tradisi local yang
bersumber dari ajaran hindu yang mengalami perkembangan dan perubahan
sehingga di tiap-tiap daerah terkadang bentuk kegiatannya beragam dan
sebagian telah mengalami percampuran dengan ajaran Islam.
Berbagai ragam bentuk kegiatan tingkepan itu tentunya membawa implikasi
hukum yang berbeda dan harus disikapi dengan arif dan bijaksana
sehingga tidak bisa digeneralisir dengan hukum yang sama. Oleh karena
itu penulis akan mentafsil hukum tingkepan sebagai berikut :
1. Pandangan fikih terhadap tradisi
Kata tradisi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan
yang turun temurunn yang masih dijalankan dalam masyarakat . Sedangkan
menurut Sa’dy Abu jaib dalam kamus Fikihnya adat atau tradisi adalah
setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia sehingga mudah bagi mereka
untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan
Islam menempatkan adat atau tradisi pada tempat yang semestinya yaitu
dengan memberikan apresiasi yang tinggi sehingga muncul beberapa qoidah
fiqh antara lain :
العادة محكمة
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
“ yang ashal di dalam adat itu adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh syara” .
Juga dalam hadits Nabi SAW
فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
“maka apa saja yang dilihat oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang
baik maka hal itu di sisi Allah juga baik, maka apa saja yang dilihat
oleh orang-orang Islam sebagai sesuatu yang baik maka hal itu di sisi
Allah juga baik” (HR Immam Ahmad Bin Hambal)
Penghargaan islam pada adat atau tradisi itu bukan berarti tanpa syarat
karena dalam islam, orang tidak bisa serta merta membuat peraturan
ibadah tersendiri atau memasukkan kebiasaan mereka menjadi ibadah oleh
karena itu ada qoidah fiqih yang sangat terkenal
الأصل في العبادات المنع
“Yang ashal didalam ibadah adalah terlarang”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah
berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam
urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada
masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang
dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah
dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus
berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di
hukumi sebagai hal yang dilarang? Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama
fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah
adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan
kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya
maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk
mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” (Asy-Syuraa : 21)
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam berkata, “Adapun
adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang
mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan,
meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam
hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini , maka akan tampak cara menetapkan
hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur
antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan -
penemuan baru pada masa sekarang. Di mana masing-masing mempunyai
bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.
2. Hukum tradisi tingkepan
Acara tingkepan adalah sebuah tradisi apabila hanya melestarikan belaka
dengan tidak menyakini bahwa hal itu termasuk sesuatu yag disyariatkan
dan dalam pelaksanaan acara tersebut tidak dilakukan sesuatu yang
tercela atau bahkan syirik maka hal itu diperbolehkan, sebagaimana
qoidah fiqih
الأصل في العادات الإباحة إلا ما نهى عنه الشرع
Imam Syathibi juga menjelaskan dalam kajian yang panjang dalam
Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan,
“Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi
adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan
sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi
bid’ah”. Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa
Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat
bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi
kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat
Islam.Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia
dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah
ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan
bid’ah sama sekali”
Dalam pelaksanaan acara tingkepan ada beberapa adat yang mana penulis
menilai hal itu tindakan tercela yang harus dihindari seperti pemecahan
telur atau kendi karena hal itu adalah perbuatan sia-sia yang termasuk
tabdzir sebagaimana firman Allah dalam surat al Isro : 26-27
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا
تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)
Ibnu katsir dalam menafsiri ayat tersebut mengatakan bahwa mujahid
berkata seandainya manusia menginfakkan seluruh hartanya dalam hak maka
tidaklah termasuk tabdzir, tapi seandainya ia menginfakkan hartanya
walaupun satu mud dalam hal yang bukan hak maka termasuk tabdzir. Dan
Qotadah berkata tabdzir adalah menggunakan harta dalam kemaksiatan
kepada Allah dan dalam hal yang bukan hak dan dalam kerusakan . Begitu
juga imam thobari dalam tafsirnya beliau menuqil pendapat Abdulloh
ibnu masud bahwa yang dimaksud tabdzir adalah
إنفاق المال في غير حقه.
Adapaun pelaksanaan tingkepan dengan hanya mengeluarkkan sedekah kepada
para undangan yang didalamnya dibacakan sholawat nabi SAW dan ayat- ayat
al Qur’an dengan maksud untuk memohon kepada Allah agar ibu yang
mengandung dan anak yang masih dalam kandungan Ibu maka hal itu tidaklah
tercela sama sekali karena banyak ayat al Qur’an maupun hadits baik
yang tersurat maupun yang tersirat memerintahkan untuk berdoa kepada
Allah SWT. Seperti firman Allah
•
•
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan
teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa
berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya
berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh,
tentulah Kami termasuk orang-orang yang bersyukur".( QS. Al A’rof: 189)
Di dalam surat al Baqoroh Allah berfirman :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka
(jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka
itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. al baqarah
:186)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم
“Dan tuhanmu berkata dan berdoalah kepadaku niscaya akan aku kabulkan bagimu” (QS. Ghofir :60)
Sebagian ulama menjadikan hadits riwayat Imam Muslim berikut sebagai
penetapan pelaksanaan waktu tingkepan, bahwa manusia dalam kandungan Ibu
ketika usia kandungan 4 bulan maka ditiuplah roh dan ditulis taqdirnya,
dimasa itulah diadakan do’a bersama dengan tujuan agar jabang bayi yang
dikandung Ibu ditaqdir oleh Allah dengaan taqdir yang baik.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ
وَوَكِيعٌ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ
الْهَمْدَانِىُّ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا أَبِى وَأَبُو
مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ قَالُوا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ زَيْدِ بْنِ
وَهْبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ « إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ
خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ
عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِى ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ
كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ
سَعِيدٌ فَوَالَّذِى لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ
بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَيَدْخُلُهَا
Dan menurut pandangan penulis shadaqah dan doa adalah suatu bentuk
ibadah yang aturannya sangat fleksibel, manusia bisa memilih kapan saja
ia harus berdoa’ dan shadaqah dan tentunya dipilih di saat yang mereka
perlukan dan hal itu bukan termasuk bid’ah, Zakariya al anshori dalam
bukunya asna al matholib menjelaskan tentang sangat dianjurkannya
mengeluarkan shodaqoh di saat-saat yang sangat genting karena harapan
dikabulkan hajatnya sangat diharapkan ,saat kehamilan adalah bias
dikatakan berada dalam situasi yang khusus bahkan Alloh SWT memberi
kelonggaran bagi seorang ibu yang sedang hamil untuk tidak berpuasa maka
shodaqoh yang dikeluarkan seseorang diwaktu hamil tentunya sangat
dianjurkan agar doa dan harapannya dikabulkan oleh Allah.
Tetapi apabila pelakasanaan tingkepan itu di tetapkan harus pada bulan
tertentu dan diyakini bahwa penentuan tersebut merupakan suatu keharusan
dan bagian dari syariat islam apalagi dengan diisi acara yang dilarang
oleh Islam maka hal itu adalah bid’ah yang harus dijauhi.
Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي
الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي
التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada
dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan
ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada
Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan
tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat
(tradisi) dalam makna bid’ah, beliau mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ
بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan
(adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu
untuk mendekatkan diri pada Allah).
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.”
Nabi SAW bersabda
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ
حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِى خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ
قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِىُّ وَحُجْرُ
بْنُ حُجْرٍ قَالاَ أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ
نَزَلَ فِيهِ (وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ
قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ) فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا
أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ. فَقَالَ
الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ
يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً
ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ
قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا
تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
والله اعلم بالصواب
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat penulis simpulkan
Tingkepan merupakan upacara kehamilan yang juga biasa disebut mitoni
atau upacara kehamilan tujuh bulan dalam upacara ini telah banyak
mengalami perubahan dan perbedaan di setiap daerah khususnya di Jawa.
Adat atau tradisi adalah setiap apa saja yang dibiasakan oleh manusia
sehingga mudah bagi mereka untuk melakukannya tanpa mengalami kesulitan.
Islam sangat menghargai tradisi sehingga ulama’ ushul Fiqh banyak
melahirkan qaidah yang berkaitan dengan tradisi misanya “ pada dasarnya
adat atau tradisi itu diperbolehkan sepanjang tidak dilarang oleh syara’
Tradisi tingkepan dalam pandangan fikih mempunyai implikasi hukum yang
beragam dengan melihat konteksya. Pada dasarnya tradisi tingkepan itu
mubah selama tidak melakukan praktek yang dilarang oleh agama dan tidak
menyakini bahwa tradisi tingkepan itu bagian dari syariat Islam.
http://caksyeh.blogspot.com/2013/06/tradisi-tingkepan.html
Posting Komentar