Penulis : Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan
Tanya :
“Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi.
Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai
berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam
waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk
menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal.
Terkadang
setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya
melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah
saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya
melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’
(meraih kesenangan/ kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu
wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran
kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
Yang artinya : “Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi,
istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan,
maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk
menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Wahai
para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka
hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka
hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan)
syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa
untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk
beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda
diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat.
Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh
dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.
Wajib
bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak
mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus
menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang
anda sebutkan bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat
acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi
acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan
acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk
sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang
muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya
dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan
keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara
sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan
perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat.
Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada anda.
Adapun
tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi
anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang
telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah
atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani
itulah yang diharamkan –anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan
ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu
ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka
tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung
kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka
tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya
tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan
bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
Onani, kebiasaan yang tersembunyi
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Tanya :
Jawab :
“Melakukan
kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan
atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan
Sunnah serta penelitian yang benar.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
(yang artinya) : “Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di
balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Siapa
saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya,
maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar
batas berdasarkan ayat di atas.
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Wahai
sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai
kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan
mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu
hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Hadits
Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Pada
hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang
yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani
itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah
dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu
tidak boleh.
Penelitian
yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat
kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para
dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system
reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat
menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah
dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh
jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As
ilah muhimmah ajaba ‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin dari buku
Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama
Al-Balad Al-Haram]
Tanya :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Jawab :
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi”
dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama
mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala
ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya.
(yang artinya) : “Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di
balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Al-‘Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di
dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak
bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah
melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan
Allah.
Maka
dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa
kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu
adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak.
Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya
sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.
Bahkan
ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya
dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai
penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena
sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan
juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan
menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.
Maka
ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja
yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir
terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan
jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (artinya) : “Wahai sekalian para
pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah
segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih
menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendakanya
berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Muttafaq ‘Alaih]
Didalam
hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum mampu,
maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan
tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”
Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :
Pertama. Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua.
Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum
mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan
syetan.
Maka
hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan
bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda
dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana.
Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.
Menikah
itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat
pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya. (yang
artinya) : “Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat
pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya
memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang
menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan
mujahid (pejuang) di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Nasa’i dan Ibnu Majah]
(Dikutip
dari terjemah Fatawa Syaikh Bin Baz, dimuat dalam Majalah Al-Buhuts,
edisi 26 hal 129-130, disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi
Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram)
Sumber: Salafy.or.id offline Judul: Fatwa ulama seputar onani atau masturbasi
Posting Komentar